……karena saking semangatnya hendak menggapai puncak, kami berjalan cepat di padang es bersalju yang dingin membekukan …… Medinapun tidak mampu melompati jurang es, tubuhnya meluncur deras kebawah, namun tali pengaman menyelamatkan nyawanya……
”Aduh tenggorokan saya saperti ada yang mengganjal, sakit kalau bernafas”, kata Medina kepada saya. Mukanya terlihat memerah dan nafasnya tersengal. Saya sempat panik. Saya suruh dia minum air hangat untuk melancarkan pernafasan. ” Agak mendingan mas”, lanjut Medina, sayapun sedikit lega. Di luar tenda angin bertiup kencang, menambah dinginnya udara, suhu udara berdasarkan thermometer yang ada di jam saya menunjukan angka minus 5 derajat dibawah nol. Benar-benar dingin yang menyiksa tubuh. Setelah minum obat sakit kepala dan obat penghilang rasa nyeri, saya suruh Medina beristirahat agar badan segar ketika akan melanjutkan pendakian keesokan harinya.
Tenda yang kami bangun berada di ketinggian lebih dari 4000 meter dari permukaan laut yang tipis oksigen, sehingga membuat kami sulit bernafas. Kondisi ini akan lebih buruk lagi bila badan tidak fit atau kecapean, seperti yang dialami Medina, yang terkuras tenaganya setelah seharian mendaki dari Base Camp Danau Biru di ketinggian 4200 mdpl.
Sambil merapatkan sweater dan windbreaker yang membalut tubuh, saya berlari kecil kearah tenda dapur yang dipenuhi teman-teman pendaki. Saya pun tidak menolak ketika Giri memberi saya secangkir kopi panas. Kami kemudian membicarakan rencana pendakian menuju base camp selanjutnya yaitu di kaki gletser (lidah es) Puncak Jaya di ketinggian 4600 meter dari permukaan laut.
Ekspedisi pendakian ke Pegunungan Jayawijaya adalah yang kelima kalinya bagi saya dan pertama kalinya bagi teman-teman saya, Medina Kamil, Budi Kurniawan, Cosmas Gramiarto, Bayu Noerahman dan Steven Saune. Saya sempat mengkhawatirkan mereka yang untuk pertama kali menginjakan kaki di ketinggian lebih dari 4000 meter akan terkena penyakit ketinggian atau mountain sickness. Dimana akibat tipisnya oksigen yang disuplai ke otak akan mempengaruhi koordinasi organ tubuh yang lain.
Target Ekspedisi Jayawijaya yang didukung oleh satuan Brimob Papua kali ini, adalah mendaki puncak gunung es tertinggi di Pegunungan Jayawijaya, Puncak Jaya dari sisi selatan. Rute ini terbilang ekstrim, karena kami harus melakukan pemanjatan dinding es (ice climbing) dengan sudut kemiringan yg sangat terjal.
Kami memulai pendakian dari mil 64, yang merupakan pos Brimob dengan mengggunakan bus. Seluruh perbekalan dan peralatan pendakian dengan berat total sekitar 700 kg diangkut bus menuju mil 68, yaitu di kota Tembagapura di ketinggian 2500 mdpl. Selanjutnya kami menggunakan kereta gantung (trem) menuju kawasan gressberg di ketinggian 3500 mdpl selama lebih kurang 10 menit. Setelah turun dari trem rombongan diangkut lagi dengan bus menuju zebra wall diketinggian 3800 m, dari zebra wall inilah awal pendakian menuju flaying camp di Danau Biru (3900 m). Di danau biru kita mendirikan tenda dan bermalam, ini dilakukan agar tubuh kami menyesuaikan dengan ketinggian yg berkadar oksigen lebih tipis. Menurut buku yang saya baca, sebaiknya tidak terlalu cepat mencapai ketinggian tertantu, idealnya setiap naik 100 meter, harus bermalam 1 malam begitu seterusnya. Hal ini dimaksudkan agar tubuh bisa menyesuaikan dengan kadar oksigen yang tipis di ketinggian.
Diserang mountain sickness
Suhu dingin di seputaran pegunungan mulai menggerogoti tulang, di siang hari suhu terpanas hanya 15 derajat celcius dan malam bisa minus 5 derajat celcius, apalagi klo angin berhembus kencang membuat suhu udara bisa drop hingga 0 derajat celcius di siang hari. Lingkungan yang ekstrim dingin ini menjadi keseharian kami selama berhari-hari melakukan pendakian di pegunungan ini.
Pagi sekali kami sudah bangun, langit tampak cerah karena tidak ada awan yang menutupi. Kamipun segera keluar tenda, berjemur, bermandikan cahaya matahari, sebuah peristiwa sangat langka dan tidak berumur panjang di Pegunungan Jayawijaya. Seluruh peralatan, pakaian dan sleeping bag kami jemur agar tidak lembab dan berat ketika dibawa. Setelah berkemas dan sarapan pagi, kami melanjutkan perjalanan menuju base camp induk Lembah Danau-Danau di ketinggian 4200 m dpl.
Trek menanjak sangat melahkan, belum lagi tipisnya oksigen, membuat teman-teman kelelahan dengan cepat. Beberapa teman yang merasakan penyakit ketinggian, kepala pusing, seperti ada batu di kepala tampak berjalan gontai dengan ransel bawaan yang berat. Medina dan Cosmas tampak beristirahat untuk menormalkan kembali pernafasan dan meneguk air membasahi tenggorokan.
”Kepala gue pusing dan perut mual nih ,” ujar Cosmas dengan mata nanar. Bagi Cosmas ini adalah pendakian gunung yang terberat dan sangat menyiksa, karena selain tinggi, kadar oksigen yang tipis juga suhu dingin yang sangat ekstrim. ”Semeru dan Rinjani gak ada apa-apanya cuy………,” sahut Cosmas dengan kecut. Raut mukanya jadi lucu kalau sudah begini. Ya jelas saja, Semeru dan Rinjani puncaknya kan cuman 3000-an meter dpl, sementara kami sedang berjalan-jalan di atas ketinggian lebih dari 4000 meter.
Trek menanjak di pintu angin adalah satah satu trek terberat, selain menanjak curam juga tidak mudah berjalan karena krikil dan batu yang mudah lepas. Dinamakan pintu angin, karena trek ini membelah dinding batu raksasa menjulang tinggi di kiri kanan trek. Sehingga angin masuk dari celah bebatuan ini melewati kami. Saya melihat thermometer di jam saya yang menunjukan suhu 8 derajat Celsius. Suhu terasa semakin dingin ketika angin berhembus menerpa wajah kami dengan keras, apalagi panas sinar matahari terhalang kabut tebal.
Medina yang mendaki lebih cepat dari biasanya, tiba-tiba mengeluh kepalanya sakit luar biasa dan nafasnya sesak. Sejurus kemudian dia memegangi perutnya yang terasa mual. Tanpa dapat ditahan lagi Medina memuntahkan seluruh sarapan pagi yang disantapnya. Rupanya penyakit ketinggian secara tiba-tiba menyergap Medina. ” Gak papa …… agak enakan sekarang, setelah dimuntahkan, gak mual lagi ,” ujar Medina sambil menyeka air matanya yang merembes keluar. Kami memutuskan untuk beristirahat dan minum.
Setelah melalui tanjakan terjal pintu angin, akhirnya kami bisa bernafas lega karena trek tidak lagi menanjak terjal, tapi datar, walaupun diselingi lintasan trek naik turun yang tidak terlalu berat. Pemandangan danau di kiri trek cukup menghibur. Air danau yang biru kehijauan, jernih, sungguh sebuah pemandangan yang cantik.
Setelah berjalan selama 5 jam akhirnya kami sampai di Base Camp Induk Lembah Danau-Danau (4200 m dpl). Kami disambut teman-teman Brimob dengan welcome drink secangkir teh manis panas … hmmm … nikmatnya.
Lembah Danau-Danau biasa dijadikan base camp induk berbagai tim ekspedisi ke Pegunungan Jayawijaya, karena lokasi yang strategis dan tepat di tengah bila hendak menggapai beberapa puncak di pegunungan ini seperti, Puncak Cartenzs Pyramide, Puncak Jaya, Puncak Cartenzs Timur, Puncak Sumatri Brojonegoro dan puncak lainnya.
Tanpa membuang waktu, kami segera mendirikan tenda untuk beristirahat. Kemudian saya memerintahkan teman-teman untuk membuka alat komunikasi seperti antenne outdoor HP Satelite dan B-Gan, sebuah alat untuk mengirim gambar via satelit ke kantor di Jakarta. Setevenlah yang kebagian tugas untuk membuka berbagai alat komunikasi ini, dari Jakarta ia memang ditugaskan di bagian komunikasi dan pengiriman gambar ke Jakarta.
Selain tenda tidur kami, juga berdiri tenda-tenda lain dan dapur umum yang hangat, bagaimana tidak hangat, ada 4 kompor minyak yang lagi menyala.
Saya membuka komunikasi dengan kantor di Jakarta untuk melaporkan posisi, kondisi anggota tim serta rencana kegiatan kedepan.
Lapisan es semakin susut
Pagi sekali kami sudah bangun kemudian sarapan pagi. Nasi goreng dengen telur dadar panas sungguh nikmat disantap di pagi yang cerah ini. Pagi ini kami akan mendaki hingga gletser Puncak Jaya yang merupakan Base Camp berikutnya. Dimana pendakian gunung es sebenarnya akan kami lakukan dari sana. Awal trek belum terlalu berat, jalur tanah berkerikil membelah lembah batu, dengan tebing batu tinggi dingin di kiri kanan trek.
Saya masih ingat, trek yang kami lalui dengan tebing batu di sisi trek dulunya masih berselimut es dan salju ketika saya mendaki untuk pertama kalinya tahun 1989 ketika ikut ekspedisi gabungan Mapala UI dengan Tim Inggris. Tahun 1990 dengan Tim Norwegia pun es masih tebal menyelimuti tebing-tebing batu. Dan lapisan es masih terlihat ketika bersama teman2 Mapala UI berekspedisi tahun 1991.
Waktu itu saya dan teman-teman Mapala UI sempat berlatih menggunakan paku es (crampon), mempraktekan berbagai teknik pendakian gunung es seperti, jatuh di padang es, ice climbing dan sebagainya di lokasi yang sekarang sama sekali tidak ada esnya kini.
Susutnya salju abadi di Puncak Pegunungan Jayawijaya yang merupakan salah satu keajaiban dunia tropis, diperkirakan akan punah dalam abad 21 mendatang. Gejala kepunahan salju tropis di Papua, sudah terlihat sejak 200 tahun lalu. Kecenderungan ini terlihat setelah membandingkan luas daerah salju di pegunungan yang menurut ekspedisi tahun 1936, masih 16 kilometer persegi dengan luas kini yang tinggal enam kilometer persegi.
Kepunahan salju abadi di Pegunungan Jayawijaya akan menjadi yang terakhir di daerah tropis. Sebelumnya puncak gunung bersalju di Papua Niugini sudah punah, menyusul di puncak gunung di Afrika dan Amerika Selatan, serta puncak Paragate di Amerika Selatan yang punah pada tahun 1942.
Dari Base Camp Lembah Danau-Danau menuju gletser Puncak Jaya ketika itu hanya butuh waktu sekitar 1 jam berjalan kaki, namun kini kita harus berjalan semakin jauh karena lapisan es dan salju sudah semakin menyusut. Sekarang diperkirakan waktu tempuh akan memakan waktu sekitar 5 jam menuju gletser.
Trek semakin sulit ketika kami harus mendaki jalur krikil dan batu yang licin, bila tidak hati-hati bisa tergelincir dan terjun bebas ke jurang.
Setelah berjalan 5 jam lamanya, akhirnya kami sampai di gletser. Tidak terkira raut-raut wajah senang dan takjub teman-teman, seperti orang ndeso, mereka berhamburan memegang es dan salju putih bersih. Terlihat kontras dengan wajah Cosmas yang hitam legam terbakar matahari. Es yang selama ini hanya bisa dilihat di kulkas, kali ini terpampang dihadapan mereka, menggunung.
Namun, kami tidak bisa berlama-lama menikmati keberadaan gunung es dihadapan kami ini, karena tidak lama kemudian kabut dengan cepat turun, menyusul kemudian angin dan rintik hujan es....ya es, kena kepala bletuk-bletuk bunyinya, kamipun bergegas mendirikan tenda dan flysheet atau lapisan pelindung tenda.
Untung kami sigap, karena beberapa menit kemudian badaipun melanda camp kami. Angin kencang, salju dan es tanpa ampun menghantam tenda kami, suhu menunjukan minus 7 derajat celcius ! Kami semua masuk tenda untuk menghangatkan diri, tidak ada yang berani keluar untuk memasak ditengah suhu yang dingin membekukan ini. Tanpa terasa kami semua terlena dan tertidur di kehangatan sleeping bag.
Nyaris masuk jurang es
Ditengah suhu dingin yang membekukan 3 derajat celcius pukul 6 pagi, kami semua telah bangun. Secangkir teh manis ditemani beberapa potong biskuit menjadi sarapan pagi kami. Lumayan daripada perut kosong sama sekali. Seusai sarapan kami mempersiapkan peralatan pendakian es, seperti paku es (crampon) yang kami pasang di sepatu gunung kami, kampak es (ice axe), tongkat es, tali, carabiner, harness dan sebagainya.
Tebing es setinggi lebih kurang 70-an meter membentang dihadapan kami. Belum apa-apa, dingin yang dihembuskan angin dari tebing es menerpa wajah kami, seperti kalau kita membuka frezer, pipi dan hidung ini langsung disergap dingin yg menusuk. Giri menjadi leader atau pemanjat pertama untuk membuka jalan.
Pergerakan Giri merayap di dinding es diamankan seutas tali oleh Steven. Semeter demi semester Giri menambah ketinggian. Kampak esnya terdengar menancap di es yang keras disusul kemudian tendangan cramponnya di tebing es untuk memperkokoh posisi berdiri. Akhirnya Giri sampai di sebuah teras yang cukup lebar dan aman untuk membuat tambat tali pengaman. ”Gue sudah pasang pengaman, silahkan pemanjat berikutnya naik !” teriak Giri, terdengar di alat komunikasi yang kami bawa.
Tali pun diulur dan satu persatu pendaki lainnya memanjat dengan menggunakan jummar. Pendaki pertama yang naik adalah Budi, cameramen yang akan mengambil gambar dari teras. Budi adalah cameramen yang berpengalaman dan tangguh di alam, berbagai petualangan baik di gunung, laut maupun di kegelapan goa sudah pernah dilakukan bersama saya. Setelah Budi sampai di teras menyusul kemudian saya, Dina dan Deni memanjat dinding es.
Medina mencoba memanjat es dengan teknik ice climbing seperti Giri, dua kapak es dipegang tangan kiri dan kanan, dengan diamankan seutas tali. Dengan susah payah, selangkah demi selangkah Medina menambah ketinggian. Kampak ditancapkan sebagai pegangan, kemudian badan ditarik keatas, kampak es di tancapkan sebagai penyeimbang, kemudian crampon di jejakan ke dinding es untuk membantu bergerak naik, demikian seterusnya. Meter demi meter, dinding es tebal dank eras dirayapi Medina.
Dadanya tampak naik turun akibat nafas yang memburu. ”Wuih ! Nafas mau putus rasanya !” teriak Medina sesampainya di teras. Pemanjat terakhir adalah Deni yang sesampainya di teras kedua dilanjutkan dengan tahapan pemanjatan 20 meter berikutnya.
Setelah semua sampai di hamparan es yang datar, maka tali pun dibentang menghubungkan satu pendaki dengan pendaki lainnya. Ini merupakan teknik berjalan di padang es yang aman, teknik ini dinamakan moving together. Karena bisa saja ketika salah satu pendaki terperosok ke jurang es, tali akan menahan pendaki tersebut.
”Hati-hati, perhatikan langkah kalian, karena jurang es yang tidak terlihat bisa menelan kita,” sahut Deni kepada teman-teman. Deni yang asal Menado, merupakan mountain guide berpengalaman, tidak terhitung sudah berapa kali kakinya menjejak puncak-puncak tinggi di Pegunungan Jayawijaya ini.
Menggapai Puncak Impian
Selangkah demi selangkah para pendaki menapaki padang es bersalju. Medina berusaha keras untuk tetap melangkah, terkadang langkahnya terseok-seok menerobos hamparan salju. Sesekali talinya menegang ketika harus berhenti menarik nafas dan terbatuk-batuk karena sesak nafas, seperti ada benda yang kembali menyekat tenggorokannya.
”Istirahat dulu yah, saya susah bernafas nih dan tangan juga kebas kedinginan,” pinta Medina dengan nafas tersengal-sengal. Kamipun berhenti beristirahat dan minum air hangat dari termos yang kami bawa. Cukup untuk menghangatkan badan untuk sesaat.
Hujan salju yang turun menambah tebal salju di padang es sehingga memberatkan langkah kami. Sepatu gunung membelah salju yang tebal ketika melangkah. Udara dingin menerobos, winbreaker dan sweater yang kami pakai, sarung tangan wol berlapis mitten pun hampir tidak bisa menahan dingin, membuat jemari tangan kebas dan kaku, begitu juga dengan jari kaki.
Saya perintahkan teman-teman untuk mempercepat langkah dan terus bergerak maju, karena saya khawatir kami akan terserang radang dingin (frostbite) apalagi angin semakin kencang dan hujan salju semakin deras turun.
Langkah kami semakain berat karena kaki-kaki kami amblas hingga mencapai lutut. Deni tampak berjalan berhati-hati, dia menusuk-nusukan kampak esnya ke lapisan es, mencari permukaan es yang keras, sementara di sisi kami jurang es yang tidak berdasar menganga siap menelan kami bulat-bulat. Kadang-kadang kami harus jalan berputar untuk menghindari jurang es yang menghadang di depan kami.
Kami semua terkejut ketika tali tiba-tiba menegang, rupanya Medina terjatuh akibat gagal melompati parit es yang cukup lebar, sebelum terperosok lebih dalam ke jurang, tali menahan tubuhnya.
Kami semua berusaha menarik tali agar Medina terangkat dan dengan perlahan Medina berusaha bangkit, dan merayap naik. Sebagian lengan dan tubuhnya basah karena bersentuhan dengan es dan salju. Bibirnya mulai membiru, tangannya terlihat bergetar, mengigil menahan dingin. Kami kembali beristirahat sejenak, memberi kesempatan Medina tenang.
Kami lalu melanjutkan perjalanan, kaki terus melangkah, diiringi kabut yang semakin tebal dan salju yang berterbangan turun seolah dicurahkan dari langit. Kabut tebal dan salju menghalagi pandangan, sehingga menyulitkan kami untuk berorientasi kearah puncak. Deni sesekali berhenti untuk memastikan arah yang benar, karena kalau kami tersesat, akan sangat berbahaya di kondisi alam seperti ini.
Setelah hampir 4 jam berjuang, akhirnya kami sampai di tempat tertinggi, terbuka, datar, dan tidak ada lagi gundukan es yang lebih tinggi …… puncak !
Setelah berjuang 10 hari lamanya, kami sampai juga di Puncak Impian pendaki seluruh dunia, Puncak Jaya di ketinggian 4860 meter dari permukaan laut. Kami pun bersorak dan berpelukan gembira karena telah melalui ujian berat yang melelahkan.
Pendakian pegunungan ini bagi kami bukan sekedar pekerjaan, shooting, tugas kantor atau sekedar memproduksi episode Jejak Petualang, namun juga untuk menikmati dan mensyukuri keindahan alam ciptaan Tuhan. Untuk itulah kami akan terus bertualang. Kami tidak akan pernah bosan masuk goa yang dalam dengan kegelapan abadi, mendaki gunung salju yang membekukan, menyusuri ganasnya jeram-jeram sungai, serta menyelami lautan dalam di berbagai belahan bumi ini.
Setelah berfoto-foto mengabadikan momen bersejarah ini, kami kemudian bergegas kembali ke base camp di gletser, berkejaran dengan kabut dan salju yang turun, disertai hembusan angin yang semakin kencang.
(Dody Johanjaya)
2 comments:
Keren Sekali :3
Suatu hari saya juga ingin mendaki gunung Jaya Wijaya sebelum esnya mencair :D
Mantap, inspirasi nih, jd pgn juga
Post a Comment