Powered by Blogger.

Sunday, December 4, 2011

HAK-HAK FUNDAMENTAL PEKERJA



 Hak-Hak Pekerja adalah Hak Asasi Manusia
Pada tahun 1944 Konferensi Perburuhan Internasional bertemu di Philadelpia, Amerika
Serikat. Pertemuan ini menghasilkan DEKLARASI PHILADELPIA, yang mendefinisikan
kembali tujuan dan maksud Organisasi Perburuhan Internasional (ILO). Deklarasi
tersebut memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:
Tenaga kerja bukanlah barang dagangan;
Kebebasan mengeluarkan pendapat dan kebebasan berserikat adalah penting
untuk mencapai dan mempertahankan kemajuan yang telah dicapai;
Dimana ada kemiskinan, di situ kesejahteraan terancam;
Semua manusia, tanpa memandang ras, asal usul, atau jenis kelamin, berhak
mengupayakan kesejahteraan jasmani dan rohani dalam kondisi-kondisi yang
menghargai kebebasan, harkat dan martabat manusia, dan kondisi-kondisi yang
memberikan jaminan ekonomi dan kesempatan yang sama.
Deklarasi ini menjadi pendahulu dan memberikan pola bagi Piagam Bangsa-Bangsa dan
Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia.
ILO pada bulan Juni 1998 melalui Konferensi Perburuhan Internasional telah
mengadopsi Deklarasi mengenai Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Mendasar di Tempat
Kerja, hal ini menandai penegasan kembali kewajiban universal para negara anggota
ILO untuk menghargai, memasyarakatkan, dan mewujudkan prinsip-prinsip mengenai
hak-hak mendasar yang menjadi subjek dari Konvensi-Konvensi ILO, sekalipun mereka
belum meratifikasi Konvensi-Konvensi tersebut (Indonesia mejadi Anggota ILO sejak
tahun 1950)1.
Saat ini Indonesia telah meratifikasi Lima Belas Konvensi-Konvensi ILO, dan Delapan
diantara adalah Konvensi Inti ILO (Core ILO Conventions)2 yaitu:
Konvensi ILO No. 29 tentang Penghapusan Kerja Paksa
Konvensi ILO No. 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hak untuk
Berorganisasi ;
Konvensi ILO No. 98 tentang Hak Berorganisasi dan Melakukan Perundingan
Bersama
Konvensi ILO No. 100 tentang Pemberian Upah Yang Sama Bagi Para Pekerja
Pria dan Wanita
Konvensi ILO No. 105 tentang Penghapusan Semua Bentuk Kerja Paksa
Konvensi ILO No. 111 tentang Diskriminasi dalam Pekerjaan dan Jabatan
Konvensi ILO No. 138 tentang Usia Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja
Konvensi ILO No. 182 tentang Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan
Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk Untuk Anak.
1 Timor Leste menjadi anggota ILO, ke – 177, pada tanggal 19 Agustus 2003
2 Belum ada Konvensi Inti ILO yang diratifikasi oleh pemerintah Timor Leste tapi pada
Laporan Governing Body (GB.300/LILS/7 300th Session) dikatakan bahwa - ……The
Government indicated during the 93rd Session (June 2005) of the International Labour
Conference that it was looking into the ratification of the eight Conventions concerned.
(2)
Namun demikian, pengakuan pada ketentuan dari Konvensi seringkali terhalang oleh
hambatan serius dimana peraturan perundang-undangan tidak mampu menjamin secara
memuaskan jaminan yang ditetapkan Konvensi yang menyangkut langkah-langkah
perlindungan terhadap pelanggaran hak-hak serikat pekerja, baik karena ketentuanketentuannya
tidak cukup mendorong untuk tidak melakukan atau karena ketentuanketentuan
itu menyampingkan kategori-kategori pekerja tertentu (seperti pembantu
rumah tangga, pekerja pertanian, pegawai negeri), ataupun juga karena keadaan akan
pengakuan kemerdekaan sipil dan politik dan pengakuan terhadap hak asasi manusia.
Hal tersebut menjadi komitmen terus menerus serikat pekerja untuk pencapaian hak-hak
pekerja/serikat pekerja sebagai legitimasi akan martabatnya sebagai manusia yang
dilindungi oleh hukum/undang-undang/standar-standar internasional perburuhan.
Freedom (Kebebasan), Justice (Keadilan), Security (Keamanan) dan Faith
(Keyakinan) adalah nilai-nilai yang melekat secara tegas pada manusia dimana mereka
menemukan martabatnya sebagai manusia-human dignity (dikatakan oleh Frank
Tannenbourn dalam bukunya ”Philosophy of Labor”). Serikat pekerja berusaha keras
untuk mengembalikan nilai-nilai itu, melalui perjuangan pencapaian hak-hak
pekerja/serikat pekerja. Trade Union Rights are Human Rights.
Kebebasan Berserikat dan Hak Berunding Bersama
Prinsip-prinsip dan hak mengenai kebebasan berserikat dan berunding bersama diatur
dalam Konvensi ILO No. 87 tahun 1948 (diratifikasi melalui Keppres RI No. 83 Tahun
1998) dan Konvensi ILO No. 98 tahun 1949 (diratifikasi pemerintah Indonesia melalui
UU No. 18 tahun 1956).
�� Konvensi ILO No. 87 tahun 1948
Tujuan dari Konvensi ini adalah untuk memberikan jaminan kepada pekerja/buruh dan
pengusaha akan kebebasan untuk mendirikan dan menjadi anggota kelompok, akan
kemajuan dan kepastian dari kepentingan-kepentingan pekerjaan mereka, tanpa
sedikitpun ada keterlibatan negara:
bebas mendirikan organisasi tanpa harus meminta persetujuan dari institusi
publik yang ada;
tidak adanya larangan untuk mendirikan lebih dari satu organisasi di satu
perusahaan, atau institusi publik, atau berdasarkan pekerjaan, atau cabangcabang
dan kegiatan tertentu ataupun serikat pekerja nasional untuk tiap sektor
yang ada;
bebas bergabung dengan organisasi yang diinginkan tanpa mengajukan
permohonan terlebih dahulu;
bebas mengembangkan hak-hak tersebut diatas tanpa pengecualian apapun,
dikarenakan pekerjaan, jenis kelamin, suku, kepercayaan, kebangsaan dan
keyakinan politik.
(3)
Konvensi ILO No. 87 ini juga menjamin perlindungan bagi organisasi yang dibentuk
oleh pekerja ataupun pengusaha, sehingga tanpa adanya campur tangan dari institusi
publik, mereka dapat:
bebas menjalankan fungsi mereka, termasuk untuk melakukan negosiasi dan
perlindungan akan kepentingan-kepentingan pekerja;
menjalankan AD/ART dan aturan lainnya, memilih perwakilan mereka, mengatur
dan melaksanakan berbagai program aktifitasnya;
mandiri secara finansial dan memiliki perlindungan atas aset-aset dan
kepemilikan mereka;
bebas dari ancaman pemecatan dan skorsing tanpa proses hukum yang jelas
atau mendapatkan kesempatan untuk mengadukan ke badan hukum yang
independen dan tidak berpihak;
bebas mendirikan dan bergabung dengan federasi ataupun konfederasi sesuai
dengan pilihan mereka, bebas pula untuk berafiliasi dengan organisasi
pekerja/pengusaha internasional. Bersamaan itu, kebebasan yang dimiliki
federasi dan konfederasi ini juga dilindungi, sama halnya dengan jaminan yang
diberikan kepada organisasi pekerja dan pengusaha.
Konvensi ILO No. 87 ini juga menyebutkan secara tidak tegas mengenai Hak
Mogok, dalam pasal 3 ayat 1 : organisasi pekerja dan organisasi pengusaha berhak
menyusun AD/ART mereka, memilih wakil-wakil mereka dengan kebebasan penuh,
menyelenggarkan administrasi dan kegiatan mereka serta menyusun program mereka”.
Dan ditegaskan lagi pada pasal 10 : mendorong dan membela kepentingan pekerja
dan pengusaha”.
Hak mogok adalah hak fundamental bagi pekerja dan organisasi-organisasi
mereka sebagi maksud untuk mempromosikan dan membela kepentingan ekonomi dan
sosial mereka secara syah. Tetapi mogok adalah usaha akhir dari serikat pekerja
setelah usaha-usaha yang bersifat kooperatif atau melalui meja perundingan tidak dapat
dicapai kesepakatan. Dan hal inipun diatur melalui kebiasan dan hukum nasional
setempat.
Konvensi ILO No. 87 ini juga dipertegas lagi dengan keluarnya UU No. 21 tahun 2000
tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh.
�� Konvensi ILO No. 98 tahun 1949
Maksud dari Konvensi ini adalah untuk melindungi hak pekerja untuk berserikat tanpa
adanya campur tangan dari pihak pengusaha. Konvensi ini juga menguraikan prinsipprinsip
ILO yang mendasar mengenai Berunding bersama:
hak pekerja untuk dilindungi dari berbagai undang-undang diskriminatif terhadap
serikat pekerja. Secara khusus adalah undang-undang yang dimaksud untuk
menghalangi pekerja untuk bergabung dengan serikat pekerja atau yang
kemudian menyebabkan pekerja mengundurkan diri sebagai anggota serikat
(4)
pekerja. Termasuk pula undang-undang yang menyebabkan pekerja mendapat
tuduhan ataupun dipecat karena aktifitas maupun keanggotaan mereka di serikat
pekerja;
hak organisasi buruh dan pengusaha untuk mendapatkan perlindungan yang
layak atas campur tangan dari masing-masing pihak dalam terbentuknya,
berfungsinya dan terlaksananya organisasi mereka;
memastikan peningkatan perundingan bersama dan sekaligus mempertahankan
otonomi para pihak dan sifat sukarela dari negosiasi sebagai maksud untuk
menentukan syarat-syarat dan kondisi-kondisi kerja
Dalam syarat melakukan perundingan bersama adalah pengakuan, keperwakilan.
Pengakuan ini bersifat tidak diwajibkan (optional), dengan maksud agar jangan sampai
organisasi yang paling mewakili diberikan hak-hak istimewa melebihi prioritas dalam
perwakilan untuk melakukan perundingan bersama dibandingkan dengan organisasi
lainnya yang mewakili (bila terdapat lebih dari satu organisasi pekerja/pengusaha).
Perjanjian Kerja Bersama (collective bargaining agreement) memberikan dua sisi
manfaat yang berbeda bagi serikat pekerja/pekerja dan pengusaha.
Bagi serikat pekerja, Perjanjian Kerja Bersama memberikan manfaat yang lebih
khususnya dalam:
nilai kekuatan dengan banyak anggota yang belum terlibat akan menjadi anggota
serikat pekerja;
anggota yang aktif akan mengajak atau mempengaruhi anggota yang belum aktif
untuk lebih aktif menjadi anggota;
meningkatkan kepercayaan anggota;
anggota lebih terorganisir;
serta serikat pekerja menjadi suatu hal yang baik bagi pekerja.
Perjanjian Kerja Bersama ini secara tidak langsung menimbulkan dampak yang
menguntungkan meningkatkan daya saing perusahaan dan sektor bisnis pada
umumnya, lebih jauh lagi menimbulkan dampak positif pada hubungan antara pekerja
dan serikat pekerja ditingkat perusahaan karena perundingan yang komplek tentang
pengupahan dan sebagainya telah ditentukan. Perjanjian Kerja Bersama ini akan
menekankan serikat pekerja untuk lebih hati-hati dalam penggunaan hak mogoknya
sebagai upaya yang paling akhir dan lebih mengedepankan proses dialog atau
negosiasi dalam menyampaikan tuntutannya.
Mengedepanan prinsip berunding bersama adalah suatu proses :
1) pencapaian suatu kesepakatan;
2) penyelesaian konflik yang saling menguntungkan kedua belah pihak (conflik
resolution for mutual gain);
3) menjaga hubungan industrial yang harmonis dalam waktu lama (maintanance
industrial peace).
(5)
Larangan Terhadap Diskriminasi
Konvensi yang berhubungan dengan promosi Anti Diskriminasi dan Kesamaan
Kesempatan dan Perlakuan (Pekerja Laki-Laki dan Perempuan) dalam Hubungan Kerja
dan Pekerjaan adalah Konvensi ILO No. 100 tahun 1951 (diratifikasi melalui UU No. 80
tahun 1957) dan Konvensi ILO No. 111 tahun 1958 (diratifikasi melalui UU No. 21 tahun
1999).
�� Konvensi ILO No. 100 tahun 1951 tentang Pemberian Upah Yang
Sama Bagi Para Pekerja Laki-Laki dan Perempuan
Konvensi ini mengharuskan negara yang meratifikasi untuk mengambil langkah
memajukan dan (dimana hal ini konsisten dengan metode yang dibuat untuk penetapan
upah) memastikan pelaksanaan prinsip dari kesaman pengupahan bagi tenaga kerja
perempuan dan laki-laki untuk pekerjaan yang sama nilainya. Persyaratan ini melampaui
kesamaan perlakuan untuk pekerjaan yang “sama” atau “sejenis” dimana nilai dari jenis
pekerjaan yang berlainan harus dibandingkan tanpa diskriminasi atas dasar jenis
kelamin.
Prinsip ini berlaku untuk gaji dasar biasa, dan pada penghasilan tambahan lainnya, baik
dalam bentuk tunai atau barang, yang dibayarkan oleh pengusaha.
Kesamaan pengupahan adalah hak dasar yang ditetapkan oleh ILO dalam Deklarasi
Prinsip-Prinsip Dasar dan Hak-Hak di tempat Kerja. Hal ini secara langsung
berhubungan dengan isu pengurangan kemiskinan dan peningkatan pembangunan.
Bertambahnya pendapatan perempuan kemungkinan besar akan digunakan untuk
meningkatkan investasi kesehatan dan pendidikan anak.
�� Konvensi ILO No. 111 tahun 1958 tentang Diskriminasi dalam
Pekerjaan dan Jabatan
Konvensi ini dimaksudkan untuk mempromosikan kesamaan kesempatan dan perlakuan
guna mengakhiri segala bentuk diskriminasi dalam kesempatan kerja dan pekerjaan.
Istilah “DISKRIMINASI” didefinisikan dalam Konvensi sebagai segala bentuk
pembedaan, penyisihan atau pilihan yang dibuat berdasarkan ras, warna kulit, jenis
kelamin, agama, pandangan politik, asal bangsa atau tata masyarakat yang
meyebabkan peniadaan atau pengurangan kesamaan kesempatan atau perlakuan
dalam kesempatan kerja dan pekerjaan.
Diskriminasi harus ditiadakan dalam akses ke pelatihan kerja, pekerjaan dan kerja
khusus dan serta syarat dan kondisi pekerjaan.
Konvensi ini diperkuat lagi dengan UU No. 7 tahun 1984 tentang Penghapusan Segala
Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW)3.
3 CEDAW (Convention on the Elimination of All Forms Discrimination Against Women).
Konvensi ini diadopsi oleh Majelis Umum PBB pada tanggal 18 Desember 1979,
merupakan perjanjian internasional tentang perempuan yang paling komprehensif dan
menetapkan kewajiban hukum yang mengikat untuk mengakhiri diskriminasi terhadap
(6)
Perempuan diseluruh dunia disatukan melalui permasalahan-permasalahan yang
sama – ketidakberuntungan; mendapatkan kwalitas pendidikan formal yang rendah,
halangan dalam pekerjaan karena beban tanggung jawab keluarga-akses untuk
pelatihan dan promosi kerja, bekerja pada sektor-sektor tertentu yang menempatkan
mereka pada posisi upah rendah, mereka juga sedikit akses untuk mendapatkan upah
tambahan seperti bonus atau penghargaan.
Melalui kedua Konvensi tersebut diatas, telah jelas diuraikan bahwa para pekerja lakilaki
dan perempuan mempunyai hak yang sama dan terhindar dari diskriminasi. Serikat
pekerja mempunyai peran yang jelas dalam mempromosikan kesetaraan jender
(promoting Gender Equality), untuk menjadikan Konvensi-Konvensi ini menjadi nyata
didalam pelaksanaannya.
Penghapusan Kerja Paksa
Kerja paksa ditemukan dalam berbagai bentuk sepanjang sejarah, dan tidak menutup
kemungkinan saat ini masih berlangsung praktek tersebut meskipun dalam bentuk yang
berbeda (modern slavery/manpower exploitation. perbudakan modern/eksploitasi
tenaga kerja, karena kepentingan-kepentingan praktek-praktek bisnis semata dan
mengesampingkan hak dan harkat hidup manusia). Kerja paksa/kerja yang dipaksakan
dapat meyuburkan kemiskinan, dan menghalangi pelaksanaan hak asasi manusia
mendasar lainnya seperti kebebasan berserikat dan kebebasan dari diskriminasi.
Konvensi yang mengatur tentang penghapusan kerja paksa adalah Konvensi ILO No. 29
tahun 1930 (diratifikasi oleh Pemerintah Belanda pada tanggal 31 Maret
1933,Ned.Stbl.No.26, 1933 jo Ned.Stbl. No.236, 1933. Dinyatakan berlaku bagi
Indonesia dengan Stbl. No. 261, 1933) dan Konvensi ILO No. 105 tahun 1957
(diratifikasi melalui UU No. 19 tahun 1999).
�� Konvensi ILO No. 29 tahun 1930
Mengharuskan negara yang meratifikasi untuk menghentikan penggunaan kerja paksa
atau kerja wajib dalam segala bentuknya dan dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
Kerja paksa atau wajib kerja secara luas didefiniskan sebagai”semua kerja atau
jasa yang dituntut dari seseorang dibawah ancaman hukuman dan bahwa si pekerja
tidak menawarkan jasanya secara sukarela”
�� Konvensi ILO No. 105 tahun 1957
Konvensi ini memperkuat Konvensi ILO No. 29. Konvensi ILO No. 105 tahun 1957
menentukan penghapusan kerja paksa untuk lima situasi khusus yang berhubungan
dengan penindasan politis, yaitu kerja paksa atau wajib yang digunakan:
1) sebagai cara penekanan atau pendidikan politik atau sebagai hukuman untuk
pemahaman atau pernyataan pandangan politik atau pandangan yang secara
ideologis bertentangan dengan system politik,sosial atau ekonomi yang syah;
perempuan. Konvensi ini menetapkan persamaan kesempatan perempuan dan laki-laki
untuk menikmati hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial dan budaya.
(7)
2) sebagai cara untuk pengembangan ekonomi;
3) sebagai cara untuk membina disiplin tenaga kerja;
4) sebagai hukuman karena keikutsertaan dalam pemogokan;
5) sebagai cara pelaksanaan diskriminasi rasial, sosial, bangsa atau agama.
Penghapusan Pekerja Anak
Anak adalah aset suatu bangsa, penerus generasi suatu bangsa. Perlindungan terhadap
mereka merupakan satu elemen penting dalam upaya untuk mencapai keadilan sosial
dan perdamaian universal. Perburuhan anak-anak amat bertentangan dengan upaya
menumbuh-kembangkan kemampuan anak sebagai manusia, nilai-nilai universal
mengenai pekerjaan yang layak (decent work4) dan menjunjung tinggi harkat dan
martabat manusia, serta upaya penanggulangan kemiskinan.
Perburuhan anak-anak berdampak buruk terhadap kesehatan dan pendidikan anakanak,
bahkan tidak jarang mengakibatkan kematian.
Konvensi yang mengatur mengenai penghapusan pekerja anak adalah Konvensi ILO
No. 138 tahun 1973 (diratifikasi melalui UU No. 20 tahun 1999) dan Konvensi ILO No.
182 tahun 1999 (diratifikasi melalui UU 01 tahun 2000).
Pekerja Maju Untuk Menang Dalam Serikat Pekerja
Apa yang telah diuraikan diatas adalah suatu standard yang paling mendasar
(Findamental Standards) Organisasi Perburuhan Internasional. Ketentuan-ketentuan
yang tercantum dalam standar tersebut digunakan sebagai dasar untuk menyusun
perundang-undangan nasional. Karena itu, Konvensi-Konvensi Perburuhan
Internasional memiliki dampak yang terus berlanjut di luar kewajiban-kewajiban hukum
yang ditimbulkan.
Setiap anggota Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) mempunyai komitmen, yang
dipertegas melalui Deklarasi Prinsip-Prinsip dan Hak-Hak Mendasar di Tempat Kerja “
untuk menghargai, memasyarakatkan, dan mewujudkan prinsip-prinsip dan hak-hak
mendasar di tempat kerja”.
Hak pekerja/serikat pekerja adalah hak asasi manusia. Semua hak-hak yang
dibicarakan dalam serikat pekerja; hak – hak dasar, hak – hak fundamental, ILO Core
Conventions – Konvensi Inti ILO atau nama – nama lainnya, sesungguhnya adalah
sama yaitu termasuk dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi permasalahan yang
4 Decent work – the heart of social progress. "The primary goal of the ILO today is to
promote opportunities for women and men to obtain decent and productive work, in
conditions of freedom, equity, security and human dignity." - ILO Director-General Juan
Somavia. Decent work should be at the heart of global, national and local strategies for
economic and social progress. It is central to efforts to reduce poverty, and a means for
achieving equitable, inclusive and sustainable development. The ILO works to promote
decent work through its work on employment, social protection, standards and
fundamental principles and rights at work and social dialogue.
(8)
dihadapi saat ini adalah TIDAK SEMUA pekerja menyadari bahwa mereka mempunyai
hak tersebut ataupun tidak berani”meminta” hak tersebut.
Sebagai perorangan pekerja tidak akan pernah mampu memperjuangkan
kepentingannya (“meminta haknya”) atas apa yang telah dilakukan sebagai kewajiban.
Mereka membutuhkan organisasi, serikat pekerja, untuk pencapaian dan pemenuhan
hak-haknya.
Sekali lagi saya menyadur apa yang dikatakan oleh Frank Tannenbourn; worker dignity
is not just about wage and performance, worker dignity is about rights – worker
rights/human rights (martabat pekerja tidak hanya sekedar upah dan prestasi, martabat
pekerja adalah tentang hak – yaitu hak-hak sebagai pekerja/hak asasi manusia)
Selamat berjuang. Workers Need Union, Union Need Workers, for The Union Make Us
Strong (Pekerja Membutuhkan Serikat Pekerja, Serikat Pekerja Membutuhkan Pekerja,
melalui serikat pekerja kita akan kuat)

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More