Oleh: Poetoe
Berjuang tidak identik dengan memanggul bedil. Ada sekelumit kisah heroik semasa perang merebut dan mempertahankan kemerdekaan RI yang tersisa dari kaum perempuan Bali.
Kisah ini terungkap dari penuturan tiga perempuan, Djero Wiladja dan Anak Agung Mirah Astuti Kompiang di Denpasar, serta Luh Sekar di Singaraja.
Djero Wiladja yang semasa lajang bernama W.G. Sukarti masih teringat pengalaman nyata pada zaman perang merebut kemerdekaan. Saat itu, Sukarti terjun berjuang di medan tempur bersama para pejuang lainnya. Hanya saja, Sukarti tak ikut memanggul senjata.
Perannya lebih banyak menjadi informan alias mata-mata pejuang RI yang sengaja menyusupi wilayah jajahan. Ia pun menjalani peran sebagai petugas kesehatan bagi para pemuda pejuang masa itu.
Perempuan sepuh kelahiran Banjar Sakenan Badelodan, Tabanan, 75 tahun silam ini menyingkap sebuah pengalaman mengesankan ketika turut berjuang mengusir penjajah di Buleleng. Suatu malam ia mengikuti langkah sejumlah pejuang bergerilya melewati beberapa desa. Sukarti ditemani seorang sahabatnya bernama Sudarmi.
Saat itu, baru saja berlalu pendaratan pasukan NICA.
“Para pejuang terpaksa harus menempuh perjuangan bawah tanah. Saya diikutkan bergerilya sebagai informan bagi pejuang kita,” ungkap istri Anak Agung Gede Putra (alm.), ini.
Tak jarang, Sukarti dipercaya mengemban tugas mengelabui musuh. Namun, ia tak sendirian menjalankan tugas ini. Suatu saat, ia berpura-pura mengendarai sepeda gayung bersama sejumlah teman, termasuk Sudarmi dan Mas Inggas. Mereka sedang berusaha mengalihkan perhatian serdadu penjajah yang sedang mengincar dua pemuda pejuang, Maruti dan Tanil.
Langkah dua tokoh pemuda ini samasekali tak terendus penjajah. Padahal, mereka berada di tengah rombongan ini. “Tiap berpapasan dengan tentara NICA kami melambaikan tangan dibarengi senyum ramah, sehingga mereka tidak terlalu memperhatikan dua pemuda yang ikut bersama kami,” tutur Ketua Korps Wanita Veteran Provinsi Bali ini.
Suatu ketika waktu menjelang pagi, suasana masih tampak gelap. Tiba-tiba terdengar suara anjing menggonggong. Sukarti terbangun dari tidurnya. Ia beranjak dari tempat tidurnya dan berjalan mendekati pintu depan rumahnya.
“Saat membuka pintu saya kaget melihat banyak tentara NICA membawa senjata lengkap berada di pekarangan rumah,” kisahnya.
Rumah Sukarti dikepung Serdadu NICA. Para penjajah mencurigai ada pejuang yang disembunyikan di rumahnya. Namun, kecurigaan tadi tak terbukti. Tentara NICA tak menemukan apa yang mereka cari.
Selang beberapa saat kemudian mendadak muncul seorang pemuda bertopi klangsah dan berpakaian bak petani. Ia membawa tegenan pisang serta buah kelapa. Ia ternyata Raken Sujati, pejuang yang sedang diburu tentara NICA.
Rupanya ia sedang melakukan penyamaran. “Maklum wajahnya sudah dihapal tentara NICA,” ujarnya.
Seketika Sukarti mencari akal menyembunyikan pemuda tadi. “Saya menyuruhnya berpura-pura menyuci pakaian di kamar mandi. Pintu kamar mandi dibuka sedikit agar tidak mencurigakan. Saat melakukan inspeksi lagi, tentara NICA tidak curiga.
Untung saja tidak ketahuan. Wah, saya sudah deg-degan,” kata perempuan yang masih kelihatan cantik pada usia senjanya itu.
Men Norji
Pertengahan tahun 1947 Sukarti dan Sudarmi dipindahkan sebagai pembantu sekretaris dan palang merah perwakilan MBU Sunda kecil di Buleleng yang dipimpin Wayan Noorai alias Pak Mangku.
Hampir seluruh desa dan hutan di Buleleng telah dilalui bersama MBU. Ia ikut menyemangati kaum wanita pedesaan agar tetap menjaga persatuan dan kesatuan bangsa.
Saat bergerilya bersama rombongan MBU banyak hal berkesan yang dirasakannya. “Kami berjalan tengah malam tanpa sinar lampu sedikit pun karena takut ketahuan tentara NICA. Kami hanya berpegangan tangan, mata terpejam.
Kami berjalan mengendap-endap, tanpa bicara sepatah kata pun bermodalkan keberanian. Kami terus berjalan sampai kaki terasa capek. Begitu capeknya kami tertidur. Esok harinya baru sadar kami sudah berada di puncak bukit,” tuturnya.
Sukarti pernah bergerilya hingga mencapai Puncak
Bukit Landep. Udara dingin seakan menusuk sumsum tulang. Jika waktu istirahat tiba, ia memilih tidur di dekat tungku api. “Namun, lagi nyenyak tidur, ada berita tentara NICA datang. Kami berpindah lagi sambil bergerilya,” katanya.
Ada seorang warga desa, Men Norji, yang sosoknya sulit dilupakan Djero Wiladja alias Sukarti ini. Men Norji berjasa membantu para pejuang di Desa Munduk Pengorengan. Ia memberikan makan dan tempat tinggal bagi para pejuang yang mampir di kampungnya.
Pakai Kode
Zaman perjuangan mempertahankan kemerdekaan merupakan masa yang sulit. Keadaan genting dan situasi tak menentu. Hal ini juga mempengaruhi kondisi perekonomian. Orang zaman itu hanya makan nasi bercampur jagung. Banyak duka yang dialami istri pejuang.
“Saya waktu tahun 1945 masih kelas IV SD. Kondisi sedang gawat. Para pejuang dikejar-kejar tentara NICA. Saya dan Ibu kerap membantu pejuang bersembunyi. Ada yang sembunyi di atap dan ada yang sembunyi di belakang Puri Mengwi,” kenang Anak Agung Mirah Astuti Kompiang, istri Ida Bagus Kompiang, Ketua LVRI Bali.
Sembari membantu persembunyian pejuang, perempuan kelahiran 23 Desember 1933 ini juga ikut mengantarkan makanan untuk para pejuang. Walaupun ada rasa takut, tetapi itu tak mengendorkan semangatnya membantu kaum pejuang.
Satu pengalaman yang tak terlupakan, ketika ada konvoi lewat di depan Puri Mengwi. “Ada konvoi datang dari arah Gulingan.
Semua orang keluar menonton. Ternyata konvoi itu membawa jenazah Pak Rai (I Gusti Ngurah Rai) yang gugur di Marga. Belakangan saya baru tahu Pak Kompiang ikut bertugas mengidentifikasikan
siapa-siapa saja yang gugur dalam pertempuran itu,” ujarnya.
Ketika memutuskan menikah dengan Pak Kompiang, ia dihantui rasa was-was. “Waktu upacara pernikahan, tak jauh dari rumah tempat upacara ada orang dibunuh karena diketahui sebagai mata-mata.
Zaman itu memang sulit. Orang pakai bahasa kode untuk mengetahui apakah dia musuh atau teman,” kata perempuan yang dikaruniai tiga anak dan tujuh cucu ini.
Pejuang Pertama
Luh Sekar, merupakan salah seorang pejuang di Buleleng yang turut membantu para pemuda Indonesia melawan penjajah. Kisahnya dituturkan kembali Luh Sekar kepada wartawati Koran Tokoh, Putu Yanik, di rumahnya, Desa Pemaron, Singaraja.
Luh Sekar yang sekarang dikenal dengan nama Jero Nagari merupakan perempuan pertama yang menjadi pejuang di desa asalnya, Panji. Saat Belanda menduduki Buleleng, ia menjabat sebagai ketua Wanita Republik Indonesia (Warindo).
“Perempuan dulu lebih banyak bertugas sebagai penghubung dan membantu pemuda Indonesia untuk perlengkapan maupun penyampaian surat-surat rahasia,” ungkap perempuan kelahiran 1931, ini.
Saat berusia 17 tahun, ia ikut berjuang bersama pemuda desanya. Ia menjadi mata-mata para pejuang RI. Luh Sekar mahir menyamar sehingga selalu lolos dari kejaran tentara Belanda.
Sesekali, Luh Sekar terbata dan menyeka air mata dengan baju yang dikenakannya saat mengungkapkan kembali kisahnya. “Sakit dada ini kalau teringat bagaimana ayah saya dipukuli dengan senjata hingga muntah darah. Ayah saya tak pernah mau mengatakan keberadaan saya,” ungkap Luh Sekar.
Sikap ksatria dan kesetiaan sang ayah melecut dirinya ikut berjuang melawan penjajah. “Saya tak pernah membocorkan rahasia pemuda Indonesia, walau saya dikurung dan disiksa,” tuturnya.
Luh Sekar pernah ditangkap pasukan Belanda. Tetangganya menjadi mata-mata penjajah yang membocorkan rahasia persembunyiannya. Ia diciduk bersama dua teman perempuannya.
Mereka dikurung dua minggu di Banyumala. “Kami tetap menjaga rahasia. Akhirnya karena penjajah tak mendapat informasi apa pun, kami bertiga dilepas. Setelah dilepas, kami berjuang kembali,” ujarnya.
Tindak-tanduknya pun selalu diawasi Belanda. Dua minggu kemudian, Luh Sekar kembali ditangkap di Kantor MID. Di sana, para pemuda Indonesia banyak yang disiksa, dibakar hidup-hidup, dan dibunuh. Luh Sekar pun mendapat siksaan.
Ia dipukuli, ditempeleng, ditendang. Ia dipaksa membocorkan informasi tentang keberadaan pemuda pejuang RI.
Beruntung, Luh Sekar tak kehabisan akal. Wajahnya yang cantik dijadikan senjata mengakali tentara Belanda. Ia berpura-pura mencuri perhatian penjajah. Luh Sekar kemudian menghirup udara bebas.
Belakangan dua tentara Belanda jatuh cinta padanya, bahkan salah seorang yang pernah diracuninya pun mengajaknya menikah. “Saat saya membuka warung makan, banyak tentara Belanda mampir.
Saya sempat meracuni salah seorang di antara mereka. Korbannya sakit berhari-hari, tetapi tak sampai meninggal. Dia samasekali tak curiga pada saya, padahal kalau ketahuan saya bisa dipenggal,” ungkapnya.
Meski banyak digoda tentara Belanda, Luh Sekar tetap teguh pada pendiriannya.
“Bahkan, iming-iming yang dijanjikan tak melunturkan kesetiaan saya pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan,” tambahnya.
Luh Sekar kemudian melarikan diri bersama pemuda lainnya ke hutan Puncak Landep, Desa Panji.
Ia bergabung dalam Gerakan Rahasia (Geri) dan menjadi anggota perempuan satu-satunya. Ia membawa misi khusus sebagai penghubung pemuda pejuang di kota dan di hutan.
Ia juga memata-matai keberadaan tentara Belanda untuk memudahkan pergerakan pemuda.
Malam harinya ia bertugas di sepanjang jalan Seririt-Singaraja dan bersembunyi di tumpukan sekam padi.
Setelah merdeka, Luh Sekar menjalani hidupnya dengan membuka usaha dagang sampai akhirnya ia menikah dengan Bagus Putu Candri (alm) yang juga pejuang.
Kini Luh Sekar menikmati masa tuanya bersama anak dan cucunya.
Tiap tahun ia masih bisa menengok anak dan cucunya di Lampung. Ia pun masih bisa melakukan aktivitas memasak dan menyapu lantai rumahnya.
0 comments:
Post a Comment