Oleh: Sherr Rinn
“Orang yang paling bahagia adalah mereka yang memberikan kebahagiaan terbesar kepada orang lain.” (Status Facebook Sondang Hutagalung, 19 September 2011)
“Untuk memberikan cahaya terang kepada orang lain kita jangan takut untuk terbakar. Dan bagi mereka yang terlambat biarlah Sejarah yang menghukum-nya.” (Sondang Hutagalung)
Sondang Hutagalung (22 tahun, akun Facebook: Hut Son) telah meninggal pada pukul 17.45 Wib, tepat pada Hari Hak Asasi Manusia se-Dunia, 10 Desember 2011. Ia menghembuskan nafas terakhirnya setelah meregang nyawa selama tiga hari. Sondang adalah ketua Himpunan Aksi Mahasiswa Marhaenis Untuk Rakyat Indonesia (Hammurabi Justice), aktivis yang mendedikasikan hidupnya untuk memperjuangkan HAM. Dia membakar dirinya sendiri dengan harapan bisa membangkitkan gerakan rakyat.
Menurut para saksi, Rabu (7/12) pukul 17.30 Wib, Sondang yang berpenampilan rapi membakar diri dalam balutan baju biru, celana hitam dan memakai sepatu pantopel (sebenarnya sepatu semi boot). Ia sempat mondar-mandir sebelum melakukan aksinya. Ia menyiram bensin ke sekujur tubuhnya, lalu menyulut api dan terbakar. Dia tak berteriak-teriak kesakitan layaknya orang yang terbakar. Sondang baru ditolong setelah api membesar selama tiga menit yang meninggalkan 98 persen luka bakar di seluruh tubuhnya.
Sondang yang juga adalah mahasiswa semester akhir di Universitas Bung Karno (UBK) ini, melakukannya secara sadar dan terencana. Sebagaimana seorang biksu Budha merencanakan laku self-immolation. Sebagai seorang aktivis pembela HAM yang sehari-harinya bergelut dalam pengorganisasian mahasiswa, advokasi dan aksi massa, ia tahu benar fenomena bakar diri telah sukses menggelorakan revolusi di Tunisia dan Mesir. Ia tidak konyol dan bodoh sebagaimana yang dituduhkan oleh banyak orang. Seorang Sondang hanya ingin memposisikan dirinya sebagai martir, sebagai bunga yang dibakar. Hal ini diperkuat dengan keterangan kekasih Sondang yang menyebutkan sebelum bakar diri, Sondang pernah mengatakan akan membuat sebuah aksi besar. Rabu pagi, ia juga sempat chatting (online) dengan kawannya, Arlex Susanto Goenawan, dan mengirimkan pesan pendek, "LAWAN".
Jadi, jelas tindakan Sondang adalah aksi politis yang mengharapkan dukungan politis pula. Apalagi ia melakukan aksinya menjelang dua hari besar gerakan rakyat: hari Anti Korupsi 9 Desember dan Hari HAM 10 Desember. Sebelum Sondang membakar diri di depan Istana Negara, ia berteriak: “Turunkan SBY!”
Beberapa media menyajikan informasi mengenai Sondang dari framing masalah psikologis. Sudut pandang yang dipilih untuk mengaburkan alasan politis pembakaran diri tersebut, sehingga rakyat Indonesia diharapkan percaya bahwa Sondang menderita problem kejiwaan, bukan karena protes terhadap rezim.
Membakar diri telah menjadi metode protes yang dipopulerkan oleh Mohammed Boauzizi pada 17 Desember 2010. Boauzizi adalah seorang pedagang sayur di Tunisia yang protes karena dagangannya digaruk oleh pemerintah. Ia meninggal, namun aksinya memicu gerakan sosial di negeri tersebut yang lalu berhasil menumbangkan rezim Ben Ali. Metode ini juga ditiru sebagai cara protes ke pemerintah oleh orang Mesir dan Aljazair.
Bakar diri untuk protes juga pernah dilakukan oleh seorang buruh Korea Selatan, Chun, Tae-Il, dalam suatu aksi di kawasan Peace Market, Korea Selatan, pada 13 November 1970. Tae-Il meneriakkan “ taati hukum perburuhan”, “stop eksploitasi buruh”, “hari minggu libur” sambil berlari dengan tubuh penuh kobaran api sebelum kemudian ambruk. Hari-hari selanjurnya, pemogokan buruh dan solidaritas rakyat membesar di berbagai tempat di Korea.
Di Indonesia, bakar diri sudah banyak kejadian (bahkan bom bunuh diri), namun tidak politis—bakar diri dalam rangka frustasi dengan keadaan ekonomi yang miskin. Penyebab kemiskinan adalah sistem ekonomi yang dijalankan oleh pemerintahan SBY-Budiono yang adalah hamba kapitalis dan bermental korup. Rezim ini lah yang sebenarnya bertanggungjawab terhadap aksi bakar diri Sondang.
Pengharapan pada Spontanitas
Penggulingan SBY adalah kehendak Sondang. Hal ini juga adalah kehendak kelompok gerakan kiri di Indonesia. Bahkan lebih jauh lagi, tidak hanya sekadar menggulingkan SBY sebagai presiden, tetapi ada kehendak mengganti sistem.
Demi “turunkan SBY”, Sondang telah menempuh cara yang memerlukan keberanian luar biasa: berkorban diri hingga mati. Hal yang mungkin tidak banyak orang yang sanggup (berani) untuk melakukan, atau tidak banyak orang yang menganggap hal itu cukup masuk akal untuk dijadikan sebagai metode perjuangan.
Apa yang diharapkan Sondang sesungguhnya adalah kebangkitan gerakan spontan sebagaimana yang terjadi di Tunisia dan Mesir, serta aksi-aksi pendudukan yang motori oleh Pendudukan Wall Street. Sama seperti harapan para penggiat Occupy (pendudukan) yang akhir-akhir ini ada di beberapa kota di Indonesia: mengharapkan partisipasi individu-individu secara spontan dan luas untuk terlibat dalam gerakan.
Dari mana kesadaran harapan ini muncul?
Pertama, situasi objektif dimana di bawah sistem kapitalisme yang dioperasikan oleh pemerintahan SBY sudah sangat jelas-jelas menyengsarakan. Model kebijakannya adalah pro kapitalis. Skemanya sudah jelas neoliberal yang didiktekan oleh korporasi melalui lembaga-lembaga donor (korpoautokrasi). Arahnya adalah ekspansi modal dan perampasan nilai (kerja). Dan, ekses (dampak)nya sangat bervariasi dan meluas di mana-mana. Korban nyawa juga sudah banyak. Watak kapitalis pemerintahan SBY tercermin dalam regulasi (aturan), program pemerintah, dan situasi ekonomi yang semakin sulit--sementara elit-elit semakin kaya.
Beberapa isu, misalnya, utang negara yang mencapai 1700 trilyun, persoalan upah murah, kasus pembunuhan dua orang warga di Tiaka oleh aparat, kasus Freeport yang menewaskan warga, dan seterusnya, dan seterusnya. Inventarisasi ekses kapitalisme akan menghasilkan banyak sekali isu.
Penindasan adalah ladang subur bagi bersemainya perlawanan, demikianlah hukumnya.
Kedua, kelompok-kelompok gerakan dengan berbagai spektrum ideologi dan isu telah berjuang sejak lama. Reformasi memberikan ruang yang lebih luas daripada masa Orde Baru, untuk melahirkan berbagai kelompok gerakan. Perkembangan ini adalah positif, pun banyak perpecahan menjadikannya terserak. Serakan-serakan ini memperluas dirinya dalam berbagai kadar. Fragmentasi ini tidak belum ada jalan keluarnya. Fragmentasi antar-organisasi, fragmentasi antar-isu (identitas), bahkan fragmentasi antara organisasi dan individu. Gerakan yang ada belum sanggup untuk menciptakan atmosfer revolusi.
Sementara itu, sekali lagi, perluasan geografi modal (sebagai konsekuensi perluasan kapitalisme), yakni investasi dan pasar menjadi semakin masif, apalagi krisis saat ini justru menyerang negeri-negeri kapitalis maju. Marx sudah menjelaskannya sejak 1887 dalam Manifesto Partai Komunis:
“Syarat-syarat masyarakat borjuis terlampau sempit untuk memuat kekayaan yang diciptakan olehnya. Dan bagaimana kah borjuis mengatasi krisis-krisis tersebut? Pada satu pihak, dengan memaksakan penghancuran sejumlah besar tenaga-tenaga produktif, pada pihak lain, dengan merebut pasar-pasar baru, dan menyulap pasar-pasar yang lama dengan cara yang lebih sempurna. Itu artinya, membukakan jalan bagi krisis-krisis yang lebih luas dan lebih merusakkan, dan mengurangi syarat-syarat yang dapat mencegah krisis-krisis itu.”
Ekses kapitalisme semakin meluas serta banyak pelajaran revolusi dari negeri-negeri lain—dewasa ini dari negeri-negeri Afrika Timur dan gerakan pendudukan di AS dan Eropa. Semua ini berdialektika menjadi kesadaran yang dipercepat oleh media sosial yang semakin berkembang.
Situasi semacam ini menghasilkan pengharapan dalam kadar yang tinggi di kalangan kaum gerakan kepada gerakan spontanitas, di samping berharap organisasi yang telah ada—bahkan ada ekstrim penilaian bahwa organisasi sudah tidak produktif. Jadi, tidak heran bermunculan kesadaran metode yang ingin menghasilkan gerakan spontan itu, seperti metode pendudukan individu-individu dan metode bakar diri Sondang.
Yang membedakannya, gerakan individual Sondang memiliki militansi yang luar biasa (rela mati), politis, berorientasi penggulingan kekuasaan dan percaya pada organisasi dalam memimpin gerakan spontan. Ia bukan seorang anarkis (tidak percaya organisasi). Beberapa minggu sebelum aksinya, ia sempat menitipkan Hammurabi kepada kawan-kawannya. Ia justru membakar diri sebagai bentuk protes terhadap pemerintah agar lebih banyak lagi orang yang bangkit melawan rezim serta memperkuat organisasi dan gerakan rakyat.
Gerakan Sondang tidak lah sia-sia. Dia telah memberikan inspirasi keberanian yang luar biasa kepada setiap orang. Dia menunjukkan pencapaian model pengorbanan yang bisa diberikan oleh seorang manusia, khususnya orang Indonesia. Dalam logika pengorbanan, Sondang memiliki ekspektasi apa yang dia lakukan akan menghasilkan sesuatu. Sesuatu itu adalah perubahan. Dan untuk itu, orang perlu mengatasi ketakutan sebagaimana yang telah ia lakukan.
Jika Sondang yang berusia muda itu berani mengatasi ketakutannya terhadap kematian, mengapa kita tidak berani mengatasi ketakutan kita untuk melawan penindasan?
Dari sini lah, gerakan solidaritas itu bisa tumbuh dan diperluas. Kelompok gerakan progresif dan rakyat dimanapun berada harus meresponnya dalam memperluas dan memimpin gerakan penggulingan kekuasaan, penggantian sistem dan menjalankan demokrasi langsung.
Tidak sedikit partai politik reformis (bahkan korup) beserta ormasnya yang ingin mengambil keuntungan dari kematian Sondang untuk menjatuhkan SBY. Bahkan kelompok Sisa Orde Baru dan tentara yang kuat secara ekonomi karena memiliki aset-aset perusahaan, yayasan dan koperasi dalam domain “anti modal asing” juga berusaha mengambil-alih kekuasaan, dan bisa memanfaatkan kematiannya.
Tanpa intervensi kelompok gerakan, tanpa terkoneksi dengan gerakan buruh dan kaum miskin, pengorbanan Sondang bak bola liar yang bisa terpental ke arah yang salah atau segera membatu.
* Tulisan ini buat Sondang, yang mungkin pernah sekali dua bertemu di Cina Benteng pada hampir dua tahun silam.
0 comments:
Post a Comment