Powered by Blogger.

Monday, December 5, 2011

Meluruskan Pemahaman "Demokratis"

Kita semua setuju, pihak “sana” (barat dan sekutu2nya) memang berkonspirasi agar segala pemikiran, kebijakan, dan kecenderungan sosial seluruh bangsa di dunia adalah pro-mereka. Untuk apa? Sederhana. Mereka ingin meraup keuntungan sebesar-besarnya. Mereka ingin mengusai dunia. Mereka ingin kapital mereka yang berkuasa. “Kalau penguasa di dunia ini adalah 20% dari total keseluruhan, maka jangan sampai berubah menjadi 21%,” begitulah kira-kira yang mungkin ada di pikiran mereka (hasil diskusi dengan akh rambud).



Hal-hal yang disebarluaskan oleh mereka adalah ideologi kebangsaan, ideologi pemerintahan, segala urusan orang bermasyarakat, segala urusan orang mencari rizki! Apa jadinya? Pola pikir kita bereferensikan pada kamus-kamus mereka.



Di berbagai pengertian mengenai arti kata “demokrasi”, tampak jelas bahwa ada kecondongan pikiran. Ada keberpihakan, penafsiran yang seakan-akan menjadi “standar baku” semua orang di dunia. Demokrasi, dari kata demos-kratos. Demos adalah tataran yang terendah, demos adalah warga, demos adalah orang-orang sipil, masyarakat, demos adalah rakyat. Arti kata kratos adalah aturan. Jadi sederhana, kalau kita ambil mentah-mentah, demos-kratos adalah aturan rakyat.

Aturan rakyat yang seperti apa? Yang pasti, semua orang setuju kalau kita sederhanakan menjadi: aturan yang pro-rakyat. Inilah yang menjadi cikal bakal multitafsir. Bagian yang dimanfaatkan pihak “sana” untuk mulai membuat standar pemikiran.





Di banyak buku dan referensi, demokrasi diartikan: dari, oleh, dan untuk rakyat. Pro-rakyat diartikan: DARI rakyat. Apa artinya? Keputusan tertinggi berada pada apa mau rakyat. Semua dari anda pasti meng-iya-kan pengertian tersebut. Namun, benarkah itu?

Sebelumnya, yang pasti harus kita sama-sama persepsikan, ini bukan masalah arti demokrasi. Apa arti sebuah nama. Bisa saja saya ganti kata demokrasi menjadi doraemon.



Ini adalah masalah sistem. Bagaimana penerapan “nama” itu tadi. Penulis pribadi tidak peduli dengan “nama” ideologi yang dipakai. Yang harus mutlak dilakukan adalah: tegaknya kebenaran, keadilan, peri kemanusiaan, dan akhlak yang luhur dalam kehidupan berbangsa.





Kembali kepembahasan. Apa benar demokrasi, ideologi pro-rakyat, diartikan: keputusan tertinggi berada pada apa mau rakyat? Menurut saya: itu salah!

Ketika yang diusung adalah: apa mau rakyat, permasalahan yang timbul adalah munculnya pihak mayoritas dan pihak minoritas. Penyelesaian masalah yang diambil adalah mekanisme lobbying, dan kalaupun pembahasan sampai pada kebuntuan, ujung-ujungnya adalah: VOTING!! Inilah kesalahan fatal! Itu adalah demokrasi ala LIBERAL! Permasalahannya, hal tersebut bisa menjadi solusi paling wahid apabila keluhuran akhlak dan ketinggian ilmu dari rakyat berada pada level yang “mulia”. Namun, yang terjadi justru sebenarnya tataran pemerintahan adalah solusi untuk menjawab permasalahan rakyat, yang tidak bisa mereka pecahkan sendiri, alias: pengaturan dan pembinaan rakyat. Demokrasi LIBERAL adalah cara agar kapital pihak yang “bisa” mengendalikan mayoritas, dapat mengambil KUASA! Itu adalah setan mbahnya setan. Kapitalisme modern yang menggerogoti rakyat kecil.



Inilah sihir pihak “sana” agar seluruh dunia mengagung-agungkan: LIBERALISME, dan tentu saja pencetus sekaligus pengekornya: KAPITALISME!





Lantas, pro-rakyat yang bagaimana?

Coba kita pikirkan baik-baik. Bukankah pro-rakyat yang seharusnya adalah: pro-kesejahteraan rakyat? Pro-rakyat adalah pro-kemakmuran rakyat, pro-keselamatan hidup rakyat, pro-keluhuran akhlak rakyat, ujung-ujungnya adalah: kedamaian semesta!



Kita harus pro-aspirasi rakyat. Aspirasi bukan berarti: apa yang dilontarkan dari mulut rakyat. Namun, aspirasi adalah: hal apa yang jadi permasalahan rakyat, hal apa yang dibutuhkan rakyat, hal apa yang belum disadari rakyat. Itulah yang harus kita camkan! Mengapa? Karena rakyat bisa saja kurang ilmu, terkena tipu daya, tidak sadar atau belum paham yang seharusnya.



Dahulu, bahkan seorang saudara di kampus (akh andy tirta) pernah berkata: “Mungkin, kalau Karl Marx tahu pemikiran-pemikiran Islam, dia bakal jadi muslim.”





Islam jaya karena keluhuran akhlak-nya. Islam jaya karena kesederhanaan-nya. Namun, dibalik low-profile dan tampilan yang “damai-damai” itu, ada strategi jitu. Ada langkah-langkah taktis-strategis untuk mewujudkan nilai-nilai yang harus ada di masyarakat, sesuai dengan Al-Qur’an dan sunnah.



Lewat gebrakannya, Rasulullah SAW dan para “staff ahli” khusus-nya berhasil membuat Piagam Madinah. Amboi! “Bhineka Tunggal Ika” sekali kedengarannya. “Nama” yang diusung justru bukanlah pro-Islam, namun sebenarnya itu adalah upaya-upaya penegakan syariat. Dan apa hasilnya? Justru Islam jaya karena kerendahan hati dan kesederhanaan. Agama bukan untuk dipaksakan, tapi kita harus bisa mengupayakan agar syariat itu bisa tegak! Lewat apa? Lewat keterbukaan, kesederhanaan, tidak mau menang sendiri, namun tetap prinsipil!



Kalau mau berkata kasar: Mengalah untuk MENANG!!

0 comments:

Post a Comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More